OPINION AND THOUGHT

Amcolabora Opinion and Thought

Nukila Evanty, LLM, MILIR

SENIOR RESEARCH ASSOCIATE
AMCOLABORA INSTITUTE

Satgas Penanganan Covid- 19 telah menerima laporan kasus positif Covid -19 bertambah sejumlah 1.519 orang atau kumulatif 111.455, sedangkan kasus sembuh bertambah sejumlah 1.056 orang, kumulatif 68.975 dan kasus meninggal bertambah 43 sehingga ditotal menjadi  sejumlah 5.236. Hingga 2 Agustus 2020, dana hibah untuk penanganan Covid-19 mencapai Rp 160,082 miliar.

Disamping itu, tercatat telah disalurkan sebanyak 37.626.475 alat material kesehatan ke 34 provinsi terdampak dan relawan medis dan non medis sebanyak 42.897 telah disebar ke 26 provinsi yang terdampak. Bahkan Gubernur DKI Jakarta telah menyerukan kepada Ketua RT, RW, Kader Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Kader Desa Wisma untuk melakukan identifikasi dan mendata warga yang berisiko tinggi di RT dan RW dengan menggunakan aplikasi yang telah disiapkan oleh Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik Provinsi DKI Jakarta.

Banyak yang sudah dilakukan oleh pemerintah, tetapi bagaimana seharusnya menciptakan ruang partisipasi agar seluruh masyarakat terlibat juga dalam menangani pandemi Covid-19?

Solidaritas dan Gotong Royong sebagai Jiwa

Gotong royong adalah nilai yang hidup dalam sanubari bangsa Indonesia saat ini terutama terlihat dalam situasi pandemi Covid-19. Menurut hasil survei lembaga Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018 menempatkan bangsa Indonesia dalam urutan negara pertama sebagai bangsa yang paling dermawan di seluruh dunia. Dari survei tersebut, Indonesia berada diperingkat teratas dengan skor 59. Negara-negara maju berada di urutan selanjutnya, seperti Australia, Selandia Baru, Amerika, dan Irlandia. Hal itu membuktikan bahwa jiwa gotong royong, tolong menolong serta solidaritas sosial bangsa Indonesia adalah jiwa bangsa yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia.Dalam solidaritas masyarakat akan muncul tanpa harus diarahkan atau diperintah oleh pemerintah atau lembaga terstruktur lainnya.

Gotong royong paling dapat diamati bagi mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun temurun. Bintarto (1980) mengemukakan bahwa:Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat (4) konsep, yaitu: (1) manusia itu tidak sendiri di dunia , tetapi dilingkungi oleh komunitasnya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem mekrokosmos ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu.

(2) Dengan demkian, manusia pada hakikatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya, (3) karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan (4) selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dengan sesamanya dalam komuniti,terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.

Seperti yang dikemukakan oleh Bintarto (2014) menyebutkan gotong royong dalam bentuk tolong menolong ini masih menyimpan ciri khas gotong royong yang asli. Jenis gotong royong ini berupa tolong menolong yang terbatas di dalam lingkungan beberapa keluarga tetangga atau satu dukuh, misalnya dalam hal kematian, perkawinan, mendirikan rumah dan sebagainya dengan sifat sukarela dengan tiada campur tangan pamong desa. Gotong royong semacam ini terlihat sepanjang masa, bersifat statis karena merupakan suatu tradisi saja, merupakan suatu hal yang diterima secara turun temurun dari generasi pertama ke generasi berikutnya.

*)Penulis adalah Direktur Eksekutif RIGHTS Asia dan Amcolabora Institute, ahli social environmental justice

*)Sumber:  https://sinarharapan.net/2020/08/benteng-terakhir-lawan-covid-19-di-rt-dan-rw/ 

Nukila Evanty, LLM, MILIR
SENIOR RESEARCH ASSOCIATE
AMCOLABORA INSTITUTE

 

Jakarta – Penduduk kota Pekanbaru yang berjumlah sekitar 1 juta orang kondisinya terpapar asap imbas kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sejumlah 1.136 warga kota diduga sudah terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru pun meminta seluruh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) setempat untuk bersiaga melayani warga yang terserang penyakit akibat dampak asap tersebut. Warga juga diminta untuk menggunakan masker.

Asap kebakaran hutan dan lahan telah semakin pekat mengepung kota Pekanbaru, Riau dan sekitarnya. Dari data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pekanbaru telah terdeteksi 138 titik panas sebagai indikasi awal karhutla. Daerah paling banyak titik panas adalah di Indragiri Hilir yaitu 64 titik panas, Pelalawan (33 titik panas), Indragiri Hulu (18 titik panas), Kabupaten Kampar (6 titik panas), Kabupaten Kuantan Singingi (3 titik panas), Bengkalis (2 titik), serta Kota Dumai dan Kepulauan Meranti ( masing-masing 1 titik panas).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, luas karhutla di Riau sejak Januari hingga awal September 2019 sudah mencapai lebih dari 30 ribu hektar. Pekatnya kabut asap telah membuat pemerintah kota Pekanbaru dan beberapa wilayah lainnya menetapkan status siaga darurat bencana kabut asap.

Menilik Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Kaitan asap dengan dampak terhadap kesehatan banyak luput dari perhatian kita . Padahal salah satu ancaman kesehatan lingkungan global terbesar saat ini adalah polusi udara, termasuk asap yang disebabkan bencana.

Dampak Asap

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa paparan polusi udara termasuk asap menimbulkan dampak kesehatan yang buruk, yaitu menimbulkan penyakit pernapasan. Dampak kesehatan ini lebih besar pada usia bayi, anak-anak kecil, orang-orang dengan status kondisi pernapasan tertentu atau yang sedang sakit pernapasan, perempuan yang sedang hamil dan orang tua –mereka paling rentan serta berisiko memburuk kesehatan mereka secara signifikan. Bayi, anak-anak kecil, orang tua, serta orang-orang dengan status kesehatan paru-paru dan jantung bronkitis kronis, emfisema, asma, gagal jantung lebih sensitif terhadap efek buruk dari paparan asap.

Anak-anak yang bersekolah, petani, buruh bangunan, atau orang-orang yang bekerja di lapangan atau luar ruangan juga akan terpapar serta rentan karena menghirup asap lebih banyak. Paparan asap ini juga pastinya akan menyebabkan iritasi mata, mata merah, atau bahkan dengan gejala lebih berat.

Selanjutnya ditemukan hubungan jumlah dosis terkena paparan asap dan konsentrasi asap, yaitu nilai Indeks Standar Polutan (PSI) yang lebih tinggi dikaitkan dengan gejala pernapasan yang lebih sering muncul (Odihi, 2001). Misalnya terpapar polusi udara jangka panjang akan meningkatkan risiko penyakit cerebrovaskular, kondisi neurologis seperti sakit kepala dan migrain (Xiang, et al, 2013), serta penyakit-penyakit lainnya seperti peradangan yang sistemik, stres oksidatif, dan percepatan aterosklerosis.

Tentunya semua jenis asap dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, terutama bila terhirup. Namun, bahan yang paling tidak sehat dalam asap kebakaran hutan adalah partikel debu, zat kimia, campuran gas yang menimbulkan efek kesehatan jangka pendek dan jangka panjang (Cascio W, 2018).

Dampak jangka pendek terpapar asap kebakaran hutan dan lahan menimbulkan penyakit dan risiko sakit kepala, sesak napas, iritasi mata, kesulitan untuk bernapas dengan normal, hidung menjadi meler, tenggorokan gatal, iritasi pada tenggorokan dan paru-paru, batuk-batuk, dan inus mengalami iritasi. Pada kasus yang lebih darurat, maka dampak asap kebakaran hutan dan lahan dapat menghambat pasokan oksigen menuju jantung. Dalam situasi seperti ini dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.

Sedangkan dampak jangka panjang asap kebakaran hutan dan lahan adalah menurunkan kualitas udara di wilayah sekitar bencana asap. Karenanya, penduduk yang mendiami wilayah terpapar asap lebih berisiko mengalami dampak jangka panjang karena menghirup asap kebakaran. Menurut sumber penelitian, dampak tersebut misalnya pada peningkatan tekanan darah, kesuburan, berpengaruh pada janin, peningkatan risiko penyakit pada saraf, diabetes, dan penyakit ginjal.

Tanggung Jawab Pemerintah

Kesehatan adalah suatu keadaan orang sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Pasal 1 angka 1 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Kesehatan adalah dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan dan hidup sehat, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Sehingga tanpa kesehatan, seseorang tidak akan dapat memenuhi hak lainnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 60 UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka jelas ada tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dan melindungi hak-hak kesehatan yaitu dalam pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan, perlindungan masyarakat dari dampak bencana, menjamin pemenuhan hak masyarakat yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum, pemulihan kondisi dari dampak bencana, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai, dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.

Pemerintah diharapkan tidak sekadar sementara dalam menyediakan masker atau menyediakan sarana kesehatan pada saat terjadinya bencana saja, tetapi memikirkan dampak kesehatan bagi masyarakat yang besar di kemudian hari, serta menyediakan mekanisme kompensasi atas dampak asap tersebut. Pada akhirnya, setiap orang, perempuan, generasi muda, anak-anak mempunyai hak atas keamanan lingkungan hidup yang sehat dan melekat hak atas kesehatan (rights to safety and healthy environment) dan hak asasi manusia mendasar lainnya yang terkait dan sangat bergantung pada lingkungan yang sehat.

*)Penulis adalah Direktur Eksekutif RIGHTS Asia dan Amcolabora Institute, ahli social environmental justice

*)Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4707976/tanggung-jawab-pemerintah-pada-bencana-asap

Nukila Evanty, LLM, MILIR

SENIOR RESEARCH ASSOCIATE
AMCOLABORA INSTITUTE

 

PELAPOR Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sering disebut UN Special Rapporteur tentang hak-hak masyarakat adat (indigenous Peoples), José Francisco Cali Tzay, menyatakan serius prihatin atas dampak buruk pandemi virus Covid-19 terhadap masyarakat adat termasuk pada situasi pemberlakuan lockdown atau karantina wilayah, selain ancaman terhadap masalah kesehatan.

Dikutip dari website OHCHR (Komisi HAM PBB) 18 Mei 2020, Jose menyatakan menerima lebih banyak laporan setiap hari dari seluruh penjuru dunia tentang bagaimana masyarakat adat terdampak karena pandemi Covid-19, sangat mengkhawatirkan.  “Dan saya memgamatinya ini bukan sekedar tentang masalah kesehatan.”

Kondisi pandemi Covid-19 malah memperburuk marginalisasi masyarakat adat tersebut dan dalam situasi paling ekstrem, terjadi ” pendekatan keamanan dengan cara kekerasan ” terhadap wilayah masyarakat adat “. Masyarakat adat tidak diberi kebebasan untuk berekspresi dan berserikat, sementara kepentingan bisnis menghantam dan menghancurkan tanah, wilayah, dan sumber daya mereka.

Bahkan aksi kekerasan dilakukan untuk menghalangi pembela HAM atau perwakilan masyarakat adat.Beberapa diantara pembela HAM malah berakhir di balik sel dan dipidana. Di beberapa negara, konsultasi dengan masyarakat adat dan juga kegiatan seperti  analisis dampak lingkungan ditunda secara tiba-tiba untuk memaksa berbagai megaproyek yang berkaitan dengan agribisnis, pertambangan, pembangunan bendungan dan pembangunan infrastruktur terus berlanjut.

Jaga Tanah Adat dan Tanah Petani Kecil

Beberapa Koalisi masyarakat sipil bidang keadilan sosial dan lingkungan  termasuk Walhi dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatera dan lain-lain melaporkan bahwa PT. Artha Prigel yang adalah  anak perusahaan PT. Bukit Barisan Indah Permai Group, dari Sawit Mas Group telah  menggusur paksa petani di Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. 

Bahkan penggusuran petani dan pengambilan tanah petani  tersebut dibantu oleh preman bayaran,  security perusahaan bahkan dugaan aparat kepolisian mengabaikan kejadian ini.

Menurut laporan, konflik tanah atau agraria tersebut menyebabkan 136 orang meninggal pada Maret 2020 lalu .Kemudian ada dugaan dua orang petani dibunuh oleh security keamanan perusahaan. Tindakan penggusuran dan “menggunakan pendekatan keamanan” yang diduga dilakukan perusahaan sangat memprihatinkan karena menimbulkan korban bagi petani.

Kasus kedua  adalah nasib tanah  ulayat dan lingkungan hidup yang aman dan sehat terancam  bagi masyarakat petani dan masyarakat adat di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Masyarakat adat, petani dan berbagai koalisi masyarakat dengan unsur dari lembaga-lembaga agama, aktivis , tokoh masyarakat, maupun mahasiswa yang tersebar di seluruh wilayah NTT serta di sejumlah kota lain telah melakukan protes dan penolakan terhadap hadirnya pabrik tambang semen di daerah mereka.

Salah satu anggota masyarakat  Lengko Lolok Isfridus Sota yang adalah penolak tambang menyebutkan bahwa wilayah yang akan menjadi tempat operasi perusahaan meliputi perkampungan masyarakat , tanah ulayat dan lahan-lahan pertanian yang telah bertahun-tahun adalah penghidupan mereka.Isfridus menyebutkan bahwa  usaha  tambang dan  pabrik semen akan merusak fungsi lahan pertanian, menghilangkan sejarah , nilai-nilai budaya serta menyebabkan relokasi kampung.

Alih-alih mendengarkan keluh kesah dan penolakan masyarakat Manggarai Timur, perusahaan malah memberikan sejumlah uang sebagai pengganti tanah disaat kondisi masyarakat sedang susah.

Butuh Kepemimpinan Lokal

Kedua kasus di atas juga menunjukkan bahwa tata kelola agraria dan pertanahan semakin memburuk dengan adanya konflik, penggusuran, ancaman, kriminalisasi bahkan pembiaran.Sehingga menyebabkan pelanggaran atas sejumlah hak masyarakat adat dan petani kecil yaitu  hak atas lahan, hak atas kesehatan, hak hidup, hak atas pangan, hak atas pemulihan dan hak tempat tinggal yang aman dan sehat.

Dari beberapa kasus antara tanah petani dan tanah ulayat di satu sisi, berlawanan dengan perusahaan di situasi Pandemi ini, menunjukkan dibutuhkan local leadership (kepemimpinan lokal) yang secara langsung dapat menjadi champion (jawara) untuk lebih berpihak kepada masyarakat adat dan petani kecil. Kepala Desa, Bupati, Gubernur adalah local leaders, seharusnya mereka bersuara dan membela disisi yang paling dilemahkan.

Lebih penting, pemerintah daerah lewat bupati, gubernur perlu mengakui hak-hak kepemilikan komunitas lokal dan masyarakat adat serta  menciptakan  mekanisme bagi masyarakat untuk melaporkan keluhan. Pemerintah pusat dan daerah harus tegas melindungi hak masyarakat adat dan petani atas tanah mereka sesegera mungkin.

Situasi pandemi ini menjadi pelajaran bagi kita bersama bahwa kita harus berubah, menghargai nilai-nilai suatu masyarakat dibandingkan untuk kepentingan sesaat , serta perlu kepemimpinan lokal yang sensitif untuk menguatkan dan membela masyarakat lokalnya .

*)Penulis adalah Direktur Eksekutif RIGHTS Asia dan Amcolabora Institute, ahli social environmental justice

*)Sumber:  https://www.suaramerdeka.com/news/opini/232698-krisis-atas-tanah-ulayat-dan-tanah-petani-di-masa-pandemi

Arizka Warganegara, Ph.D
SENIOR RESEARCH FELLOW
AMCOLABORA INSTITUTE

Awal bulan ini, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dari September menjadi Desember 2020 karena pandemi COVID-19. Bila pandemi belum usai, Pilkada itu masih bisa diundur lagi.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengajukan tiga opsi penundaan Pilkada 2020: menunda tiga bulan hingga Desember, menunda enam bulan hingga Maret 2021, dan menunda setahun hingga September 2021.

Menurut saya, meniadakan Pilkada 2020 adalah satu opsi lagi yang dapat dipertimbangkan. Menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) di tengah wabah tentu melibatkan kontak antara orang-orang dan berisiko menularkan virus. Keberhasilan penanganan wabah oleh pemerintah juga sampai saat ini masih dipertanyakan.

Memilih di tengah pandemi?

Di dunia, Korea Selatan (Korsel) menjadi negara pertama yang menggelar pemilihan umum (pemilu) di tengah pandemi pada April. Pemerintah Korsel telah mendapat banyak pujian dan dianggap menjadi teladan dalam penanganan pandemi. Bermula dari satu pasien pada awal Februari, pertambahan jumlah kasus COVID-19 per hari di sana melonjak hingga lebih dari seribu orang pada awal Maret. Kini jumlah total kasus di Korsel tercatat 10.991, dengan pertambahan kasus per hari tidak lebih dari 40 dalam sebulan terakhir.

Sejak mengumumkan kasus pertama pada awal Maret, Indonesia hingga kini telah mencatat lebih dari 15 ribu kasus positif dan pertambahan jumlah kasus masih tinggi – ratusan kasus per hari dalam sebulan terakhir. Korsel berhasil karena melakukan pemeriksaaan massal (hingga 15 ribu tes per hari), pembatasan sosial yang ketat, dan komunikasi yang transparan.

Pemerintah Indonesia masih belum berhasil melakukan ketiga hal tersebut. Jadi akan riskan sekali jika pemerintah tetap bersikeras untuk tetap mengadakan pilkada padahal kemampuan menangani pandemi masih buruk. Meniadakan Pilkada 2020 menjadi opsi yang lebih baik dan bisa diambil oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam situasi sekarang. Dana Pilkada 2020 yang diperkirakan akan menelan anggaran Rp 9 triliun – sebuah jumlah yang tentunya bisa bermanfaat bagi pemulihan paska pandemi jika pilkada ditiadakan.

Opsi ketika Pilkada ditiadakan

Pilkada 2020 sedianya akan berlangsung di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota – berjumlah 270 wilayah dari total 548 wilayah yang ada sekarang. Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2016 tentang pilkada menyatakan bahwa kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 akan menjabat sampai dengan tahun 2024 dan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Jika pandemi masih berlangsung hingga akhir 2020, maka Pilkada 2020 diundur hingga 2021. Ini akan berimbas pada masa jabatan kepala daerah terpilih. Kepala daerah terpilih di 270 wilayah tersebut kemungkinan hanya akan menjabat secara efektif sekitar 2 tahun sebelum Pilkada Serentak pada November 2024. Masa menjabat 2 tahun – dari seharusnya 5 tahun – tentu pendek untuk mewujudkan kinerja dan pelayanan publik yang maksimal. Meniadakan Pilkada 2020 juga akan mengakibatkan kekosongan jabatan kepala daerah di 270 wilayah tersebut. Secara teknis, pemerintah dan DPR bisa mempertimbangkan beberapa opsi berikut untuk 270 wilayah yang terdampak peniadaan Pilkada 2020.

Opsi pertama, pemerintah pusat memperpanjang masa jabatan kepala daerah di sana. Pilihan ini tentu berdampak pada regulasi yang mengatur; sampai saat ini kita tidak punya perangkat hukum untuk memperpanjang periode kepemimpinan kepala daerah untuk periode kedua. Saya pikir skenario ini patut dipertimbangkan oleh pemerintah pusat walau jelas akan banyak tantangan baik dari kelompok politik maupun kelompok masyarakat sipil. Di satu sisi, opsi ini akan sangat menguntungkan bagi partai politik atau politikus pendukung kepala daerah petahana. Namun akan menimbulkan polemik terutama bagi partai politik yang tidak mendukung si petahanan.

Opsi kedua adalah kombinasi antar perpanjangan masa jabatan kepala daerah saat ini dan pengangkatan pejabat sementara. Misalnya, kepala daerah diperpanjang masa jabatannya sampai 2022 atau 2023, lalu nanti pada 2022 atau 2023 pemerintah pusat mengangkat pejabat sementara dengan tugas utama mempersiapkan Pilkada serentak 2024. Skenario ini terhitung moderat. Roda pemerintahan daerah bisa berjalan normal 2 atau 3 tahun kedepan sebelum ada pejabat sementara. Dalam aturan yang ada, pejabat sementara juga tidak berwenang mengambil keputusan strategis.

Opsi ketiga adalah mengangkat pejabat sementara sepenuhnya hingga Pilkada 2024. Untuk opsi ini, pemerintah dan DPR juga harus membuat sebuah terobosan hukum dengan memberikan kewenangan kepada pejabat kepala daerah sementara untuk dapat membuat kebijakan strategis.

Opsi terakhir tersebut sebagian sudah dilaksanakan di daerah-daerah lain yang terdampak oleh rencana pilkada nasional serentak pada 2024. Masa jabatan kepala daerah di 278 wilayah berakhir pada 2022 dan 2023. Ini karena mereka melaksanakan pilkada pada 2017 dan 2018. Di 278 wilayah itu, UU No. 10 tahun 2016 telah mengatur bahwa pejabat kepala daerah sementara diangkat sampai dengan terpilihnya kepala daerah baru lewat pilkada serentak nasional pada November 2024. Sekali lagi, ketiga opsi diatas memerlukan sebuah terobosan hukum dan konsensus elite politik negeri ini. 

Terobosan hukum secara politik bisa dilakukan bahkan mungkin diperlukan jika mengacu pada dampak pandemi yang ekstrem. Presiden Joko “Jokowi” Widodo seharusnya mampu melakukan ini karena hampir semua partai politik mendukung pemerintah. Sebanyak 427 kursi dari total 575 kursi di DPR berasal dari partai pendukung pemerintah.

Ketiga opsi di atas bukan berarti menghambat demokrasi dengan meniadakan pilkada. Ini adalah keputusan politik yang luar biasa diperlukan dalam situasi pandemi yang sangat tidak biasa ini.

*)Penulis adalah dosen FISIP Universitas Lampung dan merupakan Senior Research Associate di Amcolabora Institute

*)Sumber: https://theconversation.com/politik-di-tengah-pandemi-pertimbangan-untuk-meniadakan-pilkada-2020-137931

Andri NR Mardiah, Ph.D
SENIOR RESEARCH ASSOCIATE
AMCOLABORA INSTITUTE

Pada perhelatan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) Penanggulangan Bencana tahun 2020 di Sentul-Bogor, 4 Februari 2018 lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali akan pentingnya pentingnya pendekatan kolaboratif, dengan menggandeng para pemangku kepentingan terkait, baik dari sisi pemerintah maupun akademisi/peneliti, dunia usaha, masyarakat serta media (pentahelix). Prinsipnya, perlu perubahan pola pikir dalam urusan pengelolaan bencana ke arah yang lebih sigap, tepat sasaran dan inklusif, serta merujuk pada filosofi dasar: ‘Disaster is everybody business’.

Pengarusutamaan ketangguhan bencana (disaster resilience) dalam kebijakan

Konsep ‘collaborative governance’ (tata kelola kolaboratif) secara mendasar dipengaruhi oleh policy network theory (Enroth 2013). Artinya, hal fundamental yang harus dilakukan adalah membawa ‘urusan bersama’ ini kedalam level peraturan perundangan dan kebijakan. Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Januari 2020, telah mengelaborasi urusan kebencanaan dalam Bab 7, ‘Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim’ serta didukung oleh Bab 3 dan Bab 6. Selanjutnya, kebijakan harus diturunkan secara konsisten dan kolaboratif  kedalam RKP, Renstra dan Renja K/L, serta RKPD.

Berdasarkan Keputusan DPR RI No. 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) Rancangan Undang-undang Prioritas Tahun 2020, tertanggal 22 Januari 2020, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tercantum dalam daftar revisi UU yang diinisiasi dan disiapkan naskah akademisnya oleh Komisi VIII DPR RI. Proses penyiapan naskah akademik merupakan pintu masuk penting bagi transformasi penanggulangan bencana ke arah pendekatan yang lebih guyub dan kolaboratif. RUU harus mendapat masukan yang luas dari para pemangku kepentingan sebagaimana prinsip pentahelix sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo.

Kolaborasi untuk bangsa yang tangguh

Kebencanaan meliputi kompleksitas urusan pra bencana, tanggap darurat dan pascabencana. Kompleksitas siklus dan ruang lingkup kebencanaan jelas mengamanatkan kerja bersama yang harmoni dan kolaboratif. Huxham (2000) menyatakan bahwa konsep tata kelola kolaboratif berkembang seiring meningkatnya keberagaman dan kompleksitas permasalahan, yang  menuntut terbangunnya jejaring kerjasama antar beragam aktor untuk mencapai tujuan bersama.

Indonesia harus bersikap terbuka terhadap jejaring kerjasama antar negara-negara di Asia Tenggara. Pertukaran informasi antar lembaga pengelola kebencanaan sudah baik dan perlu terus ditingkatkan. Bukan hanya jejaring kerjasama yang harus dibuka lebar, spektrum bidang kolaborasi yang saling terkait juga harus diperluas. Urusan kebencanaan tidak akan pernah lepas dari upaya sinergi dari perencanaan tata ruang, pelestarian lingkungan, adaptasi perubahan iklim dan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), termasuk didalamnya adalah kemiskinan perkotaan. Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana pun akan terkait erat dengan upaya peningkatan ketahanan pangan, energi, komunikasi dan pembangunan kembali permukiman dan infrastruktur publik.

Leadership dan komando yang jelas memang penting, namun meletakan tanggung jawab kebencanaan hanya pada satu lembaga ‘superbody’ merupakan pilihan yang kurang dapat diterapkan untuk negara seluas Indonesia. Berpijak dari hal ini, berikut beberapa pekerjaan rumah yang bisa diupayakan secara kolaboratif.

Langkah konkret kolaborasi

Kolaborasi antar program untuk mendukung urusan kebencanaan sangatlah penting. Kementerian/lembaga (K/L) hendaknya melakukan pengarusutamaan urusan bencana dalam program dan kegiatan tahunannya. BNPB sebagai koordinator urusan kebencanaan, diharapkan dapat bekerjasama dengan BAPPENAS, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator terkait, sehingga dapat lebih berdaya dalam menggiring K/L berkontribusi secara nyata. Pengawasan  implementasi urusan kebencanaan baiknya dilaporkan secara kontinyu kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Selanjutnya, pertimbangan risiko kebencanaan juga harus diacu sebagai elemen penting penentu kebijakan dan/atau pemilihan langkah-langkah mitigasi kedepannya. Hal ini terutama dalam pilihan-pilihan prioritas pembangunan, misalnya: dalam hal mitigasi bencana di daerah destinasi pariwisata super prioritas dan lokasi lainnya yang mengundang investasi tinggi, seperti IKN. Pengarusutamaan ketangguhan bencana harus jadi nafas pembangunan, dan karenanya knowledge based policy harus menjadi kerangka dasar berpikir dan bertindak. Dalam kerangka kolaborasi, kerjasama dengan pusat-pusat penelitian dibawah K/L, Perguruan Tinggi (PT) dan lembaga riset Independent harus semakin intensif. Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) harus menjadi hub yang merangkul banyak pihak untuk menerjemahkan pengetahuan menuju kebijakan.

Fakta lainnya adalah kecenderungan kejadian bencana yang meliputi beberapa daerah kota atau kabupaten. Penanganan bencana membutuhkan kerja bersama yang sinergi antar daerah. Dalam konteks banjir jabodetabek pada awal tahun 2020, kerjasama bagian daerah aliran sungai hilir haruslah sinergi dengan bagian hulu. Penataan ruang dan upaya penegakan hukum harus menjadi ‘panglima’, tentunya penataan ruang yang sudah berbasis risiko bencana. Diperlukan evaluasi yang menyeluruh perihal sejauh mana analisa risiko bencana telah menjadi pijakan penyusunan rencana tata ruang yang baik.

Hal penting lainnya adalah terkait penyiapan generasi tangguh bencana, dimulai dari lingkup terkecil: desa, sekolah dan keluarga. Narasi ketangguhan bencana dalam sektor pendidikan usia dini dan gerakan komunitas lokal harus dibangun dengan baik. Peningkatan literasi publik terhadap dampak perubahan iklim dan kelestarian lingkungan sudah makin membaik. Sudah ada generasi militan, seperti Greta Thunberg yang mau memperjuangkan hak-hak generasi mendatang untuk dapat menikmati bumi dengan kualitas yang sama seperti para pendahulunya. Seiring dengan meningkatnya kesadaran lingkungan, literasi terkait kebencanaan juga harus dimulai di level keluarga, sebagai nukleus peradaban. Ibu dan anak bertindak sebagai agen perubah bagi komunitas dan lingkungannya. Perlu dipahami bersama bahwa membangun kesadaran jutaan keluarga di Indonesia bukanlah beban kerja satu institusi saja. Dibutuhkan kolaborasi dengan para pakar pendidikan usia dini, akademisi/peneliti, media, dan LSM bahkan pihak swasta melalui dana pemberdayaan komunitas-nya (CSR).

Untuk pembiayaan urusan kebencanaan, perlu dibangun kolaborasi dan inovasi sumber pembiayaan dengan spektrum luas, baik melalui hibah dunia internasional, komitmen kemitraan pemerintah daerah, dana CSR BUMN/Swasta hingga dana umat/jemaat yang dikelola oleh lembaga berbasis keagamaan. Idenya adalah membentuk dana abadi siap pakai yang tidak lagi membebankan APBN. Hal ini dapat dikelola professionaloleh sebuah lembaga/unit kerja lintas K/L yang kredibel dan transparan dengan personel lintas profesi dan keahlian. Kawan-kawan dari lembaga non-profit dan think tank akar rumput dapat turut serta dilibatkan mengisi kegiatan pendidikan, kesiap-siagaan, pencegahan dan pemberdayaan merefer langsung pada kebutuhan riil komunitas.

Penutup

Tujuan jangka panjang bidang kebencanaan bukan sekedar lagi mengurangi risiko bencana, namun kebutuhan untuk membangun sebuah bangsa yang semakin tangguh terhadap ancaman bencana (resilient nation). Bencana adalah peringatan yang memaksa kita untuk terus memeriksa, menilai, dan mengevaluasi apakah pembangunan telah berjalan dalam koridor kearifan alam dan keseimbangan diantara keduanya. Pada akhirnya, bencana menjadi barometer nyata yang menunjukkan kepada kita seberapa tangguh Indonesia sebagai sebuah bangsa. Mari kolabrasi untuk negeri, berjejaring tanpa ‘tapi’.

*)Penulis adalah Doktor bidang Tata Kelola Kebencanaan (Disaster Governance) University of Leeds, UK. Penggagas forum diskusi kebencanaan Amcolabora Institute, dan saat ini masih tercatat sebagai Perencana bidang Kebencanaan di BAPPENAS.

 *)Sumber: https://kumparan.com/1204raissa/urusan-kebencanaan-wajib-dikolaborasikan-1tMUXK6boNt

Nukila Evanty, LLM, MILIR
SENIOR RESEARCH ASSOCIATE
AMCOLABORA INSTITUTE

DELEGASI Indonesia yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK ) telah berpartisipasi pada Konferensi Perubahan Iklim atau Climate Change Conference, sering disingkat COP yang ke-25 di Madrid, Spanyol, pada 2-13 Desember 2019. Tujuan  menghadiri COP tersebut adalah menyuarakan aksi Indonesia bersama-sama dengan dunia internasional dalam berkontribusi  pada saat ini dan di masa akan datang dalam rangka mencegah kenaikan suhu global di bawah dua derajat celcius, berbagi informasi program dan aksi pengendalian perubahan iklim  dengan konstruktif dan integratif.

Lalu, kesempatan bagi kelompok bisnis  dan individu  untuk mempromosikan berbagai produk dan program terkait dengan perubahan iklim dan pembangunan rendah emisi dengan pola pendekatan baru pencegahan pemanasan global (data pavilion Indonesia 2019).

Indonesia  sendiri sebelum menghadiri  Konferensi Perubahan Iklim tersebut  diterpa berbagai isu  seperti target energi terbarukan sebesar 23 persen  pada  2025  yang sulit terealisasikan karena  pertumbuhan ekonomi nasional bergerak stagnan di angka 5 persen setiap tahun  (Kementerian ESDM 23 September 2019).  Selain itu, transisi dari energi fosil ke energi terbarukan merupakan kunci penting untuk mengekang kenaikan emisi gas rumah kaca. Disisi lain,  penggunaan energi berbasis batubara secara global dan di  Indonesia, sebenarnya bertentangan dengan target pengurangan emisi  gas rumah kaca.

Laporan Yearbook of Global Climate Action 2019 menyatakan bahwa energi terbarukan berkontribusi 17,5 persen dari konsumsi energi global pada 2016. Pada 2018, sekitar 25 persen energi global berasal dari sumber-sumber energi terbarukan. Peningkatan penggunaan energi terbarukan pada 2018 mencegah emisi 215 juta ton karbon tambahan.

Adapun Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang didukung oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ,menjelaskan bahwa penggunaan energi terbarukan harus meningkat hingga 80 persen pada tahun 2050 untuk mencegah kenaikan suhu global.Indonesia sendiri adalah penyumbang terbesar emisi karbon  terbesar , yaitu dari sektor   kehutanan (47,8 persen), diikuti oleh energi (34,9 persen).

Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa arah pengembangan sektor energi Indonesia bertentangan dengan target pengurangan emisi. Pada tahun 2025 diperkirakan sektor listrik Indonesia akan didominasi oleh pembangkit listrik berbasis batubara (54 persen). Skenario ini bertentangan dengan rekomendasi IPCC tentang pengurangan dua pertiga pembangkit listrik berbasis batubara pada tahun 2030 dan penutupan semua pembangkit listrik berbasis batubara pada tahun 2050 untuk mengurangi efek pemanasan global.

Belum lagi masalah  bencana kabut asap serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla), bahkan  Walhi  dan Koalisi Indonesia Bergerak menilai negara telah gagal memenuhi hak dasar warga untuk bernapas dengan aman dan nyaman khususnya di daerah terdampak bencana kabut asap di Sumatera dan Kalimantan .

Menurut Walhi kejadian kabut asap yang terus berulang dari tahun ke tahun membuktikan kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam,  menunjukkan kegagalan pemerintah mengantisipasi berulangnya kejadian pembakaran hutan dan lahan yang seharusnya sudah bisa diduga sebelumnya (Siaran Pers Walhi 24 September 2019).

Keberhasilan Indonesia

Dari hasil  COP ke-25, delegasi Indonesia  mengklaim  beberapa pencapaian  yaitu “Integrating Ocean-Climate Change Issues into the UNFCCC” yaitu isu laut menjadi salah satu yang berhasil diadopsi dalam keputusan bersama dengan Fiji, Panama, Kosta Rica, Seychelle, dan Chile,” (pernyataan Wamen LHK di beberapa media online).

Indonesia juga berhasil menempatkan  dua orang negosiator Indonesia dari Direktorat Jenderal  Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK  dan dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan. Lingkungan (PSKL) untuk menduduki posisi pada beberapa badan dibawah UNFCCC  (United Nations Framework on Climate Change Conference), yaitu masing-masing di compliance committee under Kyoto Protocol dan Alternate Member of the Local Communities and Indigenous People Platform (LCIPP).Indonesia juga  berhasil mendorong isu energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi mainstream dalam rangka perwujudan National Determination Contribution (NDC) Indonesia ke depan.

Menurut  perwakilan Delegasi Indonesia  beberapa cacatan negosiasi yang belum dapat dituntaskan untuk mencapai konsensus para negara pihak, diantaranya keputusan mengenai kerjasama internasional yang tertuang pada Pasal 6 Perjanjian Paris  (Paris Agreement)  tentang skema perdagangan karbon serta isu pendanaan baik di adaptasi perubahan iklim maupun pembiayaaan jangka panjang.

Tindak Lanjut bagi Negara-negara Peserta  COP25

Beberapa catatan bagi negara negara peserta Konferensi Perubahan Iklim yaitu:

1. Perlu meningkatkan komitmen tinggi pada hasil kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim  COP25. Forum COP 25 adalah forum  yang menyatukan menteri energi, keuangan dan lingkungan  dalam menyelaraskan kebijakan yang akan mempercepat dan meningkatkan tindakan dan investasi menuju ekonomi rendah karbon dan ketahanan iklim. Perwakilan negara-negara tersebut harus berkomitmen tinggi  dan  komitmen  mereka dilanjutkan dalam agenda iklim nasional

2. Harus membuat kemajuan di negara masing-masing termasuk kebijakan dan legislasi. Dua masalah yang bisa dibilang belum selesai  dan  tidak dapat diselesaikan adalah  implementasi pasar karbon internasional  seperti yang tercantum dalam Pasal 6   Perjanjian Perubahan Iklim  serta lamanya periode implementasi bagi negara-negara tersebut. Harus segera dibuat aturan-aturan  yang dirancang sedemikian rupa sehingga melindungi lingkungan untuk komitmen ketahanan  iklim nasional suatu negara.

3. Negara berkembang terutama  yang paling rentan terhadap perubahan iklim sangat bergantung pada dukungan dana  dari negara maju.  Tercatat 28 negara telah konfirmasi memberikan  bantuan sebesar   $9.7 milyar  dalam skema  Green Climate Fund. Komitmen  bantuan keuangan di COP 25 ini akan memperkuat negara-negara termasuk Indonesia. Akan tetapi bantuan proyek dan keuangan juga jangan sampai “menyingkirkan”  masyarakat adat  di tempat asalnya. Bantuan tidak saja secara keuangan tetapi juga penguatan kapasitas bagi negara-negara berkembang dan  rentan untuk membantu mereka dalam program perubahan iklim.

4. Program climate actions  harus dapat menciptakan equity  atau persamaan di masyarakat dan  negara-negara harus menjamin “no one is left behind” atau tak ada seorang pun yang tertinggal.

Pada akhirnya  Indonesia  harus berkomitmen pada transisi energi dari batubara ke energi yang baru dan sumber terbarukan.Indonesia juga  harus belajar dari negara-negara berkembang  lainnya yang telah sukses dalam transformasi energi bersih, seperti Uruguay dan Kosta Rika.

Kuncinya adalah komitmen politik pemerintah harus diikuti oleh implementasi. Semoga dana perubahan iklim di bawah Kementerian Keuangan juga mulai dapat direalisasikan di tingkat nasional dan untuk mendukung delegasi Indonesia mengimplementasikan program perubahan iklim serta selamat datang COP 26 di Glasgow, Inggris, November 2020.

*)Penulis adalah Direktur Eksekutif RIGHTS Asia dan Amcolabora Institute, ahli social environmental justice

*)Sumber:https://www.suaramerdeka.com/news/baca/215850/mau-ke-mana-setelah-konferensi-perubahan-iklim-di-madrid-2019

Our partners